Bersedekah Ringan atau Berat?
Seperti biasanya siang itu matahari memanggang kota Makkah dengan amat terik. Hari itu, Rasulullah baru saja berjama’ah sholat Dhuhur bersama para sahabat. Sesaat mereka selesai membaca dzikir, tiba-tiba seorang laki-laki menyeruak dari shaf paling belakang. Dengan merunduk-runduk ia melangkahi beberapa shaf, langsung duduk dibelakang Rasulullah. Bau anyir peluh di tubuhnya menyebar. Tubuh lelaki tua itu, kurus, ceking dan kumuh penuh debu. Kumis dan jambangnya lebar, rambutnya gondrong tak terurus. Dengan terbata-bata, lelaki tua itu memohon kepada Rasulullah.
"Wahai, Rasulullah. Saya sangat lapar. Tolonglah saya. Dan saya tidak punya pakaian kecuali yang menempel di badan sekarang. Berilah saya." Sebenarnya Rasulullah sangat iba menyaksikan keadaan orang tua itu. Wajahnya pucat, bibirnya membiru dan tangannya agak gemetar memegangi tongkatnya. Cuma kebetulan beliau sedang tidak punya apa-apa. Sudah habis diberikannya kepada orang lain.
"Maaf, orang tua. Tidak ada yang dapat saya berikan saat ini. Tetapi jangan putus asa. Datanglah kepada anak saya, Fatimah, mungkin ada sesuatu yang bisa diberikannya sebagai sedekah" Maka pergilah kakek itu kepada Fatimah. Di depan rumahnya kakek itu berseru, "Wahai putri Rasulullah. Aku lapar sekali. Dan tidak punya apa-apa. Aku datang kepada ayahmu, tetapi beliau sedang tidak punya apa-apa."
"Aku disuruhnya datang kepadamu. Mungkin engkau, punya sedekah untukku?" Fatimah kebingungan. Ia tidak memiliki barang yang cukup berharga untuk disedekahkan. Padahal, selaku keluarga Rasulullah ia telah terbiasa menjalani hidup amat sederhana, jauh di bawah taraf kehidupan rakyat jelata yang dianggapnya masih lumayan berharga cuma selembar kulit kambing yang biasa dipakai sebagai alas tidur Hasan dan Husain.
Jadi, itulah yang diambil dan diserahkannya kepada si kakek. Orang tua itu lebih kebingungan daripada yang memberikannya. Ia sedang lapar dan tidak punya apa-apa. Mengapa kepadanya diserahkan selembar kulit kambing? Buat apa? "Wahai Putri Rasulullah. Apakah kulit kambing itu dapat mengenyangkan perutku dan dapat kupakai untuk menghangatkan badanku?" tanya orang tua itu.
Fatimah tidak bisa menjawab. Ia kembali masuk ke dalam rumahnya, mencari-cari benda lain yang pantas disedekahkan. Ia bertanya-tanya, mengapa ayahku mengirimkan orang ini kepadaku, padahal Ayah tahu aku tidak lebih kaya daripada beliau? Sesudah termenung sejenak barulah ia teringat akan seuntai barang pemberian Fatimah binti Abdul Muthalib, bibinya.
Barang itu amat indah, namun ia merasa kurang pantas memakainya karena ia dikenal sebagai pimpinan umat. Barang itu adalah sebuah kalung emas. Buru-buru diambilnya benda itu dari dalam kotak simpanannya, lalu diserahkan kepada si kakek. Orang itu terbelalak melihat benda yang kini digenggamnya. Begitu indah. Pasti amat mahal harganya. Dengan suka cita orang itu pergi menemui Rasulullah kembali di masjid.
Diperlihatkannya kepada beliau kalung emas pemberian Fatimah. Rasulullah hanya berdoa, "Semoga Allah membalas keikhlasannya." Salah satu sahabat nabi yang kaya raya, Abdurrahman bin Auf, berkata, "Hai, orang tua. Maukah kaujual kalung itu kepadaku?" Kakek itu menoleh kepada Nabi, "Bolehkah saya jual, Ya Rasul?"
"Silahkan, kalung itu milikmu," sahut Nabi.
Orang tua itu lantas berkata kepada sahabat Abdurrahman bin Auf, "Berikan kepadaku beberapa potong roti dan daging untuk mengganjal perutku, dan sekedar biaya kepulanganku ke kampung." Abdurrahman bi Auf mengeluarkan dua puluh dinar dan seratus dirham, beberapa potong roti dan daging, pakaian serta seekor unta untuk tunggangannya ke kampung. Dengan gembira kakek itu berkata, "Terima kasih, wahai kekasih Allah. Saya telah mendapatkan lebih daripada yang saya perlukan. Bahkan saya telah merasa menjadi orang kaya."
Nabi menjawab, "Terima kasih kepada Allah dan Rasul-Nya harus diawali dengan berterimakasih kepada orang yang bersangkutan. Balaslah kebaikan Fatimah."
Orang tua itu kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas, "Ya Allah, aku tak mampu membalas kebaikan Fatimah dengan yang sepadan. Karena itu aku mohon kepada-Mu, berilah Fatimah balasan dari hadirat-Mu, berupa sesuatu yang tidak terlintas di mata, tidak terbayang di telinga dan tidak terbetik di hati, yakni surga-Mu, Jannatun Na'im." Rasulullah menyambut doa itu dengan amin seraya tersenyum ceria.
Beberapa hari kemudian, budak Abdurrahman bin Auf, bernama Saham datang menghadap Nabi sambil membawa kalung yang dibeli dari orang tua itu. Ya Rasulullah," ujar Saham. "Saya datang kemari diperintahkan Tuan Abdurrahman bin Auf untuk menyerahkan kalung ini untukmu, dan diri saya sebagai budak diserahkannya kepadamu." Rasulullah tertawa, "Ku terima pemberian itu. Nah, sekarang lanjutkanlah perjalananmu ke rumah Fatimah, anakku. Kalung ini tolong serahkan kepadanya. Juga engkau kuberikan untuk Fatimah."
Saham lalu mendatangi Fatimah di rumahnya, dan menceritakan pesan Rasulullah untuknya. Fatimah dengan lega menyimpan kalung itu di tempat semula, lantas berkata kepada Saham, "Engkau sekarang telah menjadi hakku karena itu, engkau kubebaskan. Sejak hari ini engkau kembali menjadi orang merdeka." Saham tertawa nyaring sampai Fatimah keheranan, "Mengapa engkau tertawa?"
Bekas budak itu menjawab, "Saya gembira menyaksikan riwayat sedekah dari satu tangan ke tangan berikutnya.
Kalung ini tetap kembali kepadamu, wahai putri junjungan, namun karena dilandasi keikhlasan, kalung ini telah membuat kaya orang miskin, telah menjamin surga untukmu, dan kini telah membebaskan aku menjadi manusia merdeka." (*)
*Ditulis ulang dari 30 Kisah Teladan, oleh Alm. K.H Abdurrahman Arroisy
Bersedekah Ringan atau Berat?
Reviewed by Lazismu Jember
on
April 18, 2020
Rating: